Saturday, July 7, 2012

Peminagan



PEMINANGAN

A.  Teks Hadis  
و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ اللَّيْثِ وَغَيْرِهِ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُا 
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَر)َرواه مسلم)[1] 
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنْ وَاقِدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ - يَعْنِى ابْنَ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ - عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ »(رواه ابو داود).[2]
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ - وَهُوَ ابْنُ كَيْسَانَ - عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ خَطَبَ رَجُلٌ امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هَلْ نَظَرْتَ إِلَيْهَا ». قَالَ لاَ. فَأَمَرَهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا.(رواه النسائ)

B.   Arti Mufrodat
فَلَا يَحِلُّ     =  Haram                                                             
أَخِيهِ          =  saudaranya. Menurut satu pendapat, saudara seagama         
يَذَرَ            =  Meninggalkan                                      
يَدْعُو            = Mendorong
يَنْظُرَ        = Melihat
Yabta’u       = membeli
Ya’dzanu    = mengijinkan.
C.  Terjemah Hadith
1.Diriwayatkan dari Abu Thahir dari Abdullah ibn Wahb dari al-Laits dan lainnya dari Zaid ibn Abi Habib dari Abdurrahman ibn Syimamah bahwa ia mendengar’Uqbah ibn ‘Amir berkata di atas membar bawa Rasulullah Saw bersabda:Seorang mukmin dengan mukmin lainnya, adalah bersaudara. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli atau menawar barang yang ada dalam penguasaan saudaranya, dan meminang pinangan saudaranya, sampai saudaranya (mukmin) melepaskan/meninggalkan pinangannyya itu. (HR. Muslim).
    2. Diriwayatkan dari Musaddad dari Abdul wahid ibn Ziyad dari Muhammad  
    Ibn Ishaq dari dawud ibn Husain dari Waqid ibn Abdurrahman yakni Ibn Sa’d
    ibn Mas’ad dari jabir ibn Abdullah ia berkata bahwa rasulullah Saw
    bersabda: Bila salah seorang di antaramu meminang seorang perempuan,
    bila ia mampu melihatnya yang mendorong untuk menikahinya, maka
    lakukanlah. (HR. Abu Dawud).

    3. Diriwayatkan dari Abdurrahman ibn Ibrahim dari Marwan dan yazid ibn   
    Kaisan dari Abi Hazim dari Abu Hurairah ra ia berkata “Seorang laki-laki 
    telah meminang seorang perempuan Anshar maka Rasulullah bertanya kepada
    laki-laki itu: apakah kamu telah melihat perempuan itu? Maka dia menjawab:
    belum. Maka nabi menyuruh untuk melihatnya. (HR. Al-Nasa’i).

D.  Pengertian Umum
Hadith ini secara umum mengandung larangan terhadap dua perkara. Pertama, seorang laki-laki dilarang menjual atas jualan saudaranya. Kedua, seorang laki-laki dilarang meminang atas pinangan saudaranya sebelum saudaranya itu meninggalkan pinangannya atau mengijinkan kepadanya. Seseorang laki-laki yang hendak menikahi seseorang perempuan boleh melihatnya.


E. Uraian Hadith
Pernyataan Nabi SAW    الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ mengandung pengertian  bahwa semua mukmin adalah bersaudara sebagaimana halnya saudara sekandung. Persaudaraan ini diikat oleh keimanan kepada Allah SWT dalam bingkai Dinul Islam. Sebagaimana firman Allah :
”Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”[3].
     Masing-masing orang Islam memiliki hak dan kewajiban yang harus dihormati dan dipenuhi. Karena itu, dengan persaudaraan yang telah dimiliki oleh seorang muslim ini, hendaknya seorang muslim selalu membiasakan berprilaku baik terhadap sesama muslim agar terwujudnya hubungan yang harmonis.
Sebagai contoh hak dan kewajiban di antara muslim yang dinyatakan dalam hadits ini berkaitan dengan muamalah berupa praktek jual beli dan dengan munakahat berupa peminangan. Dalam hal jual beli, seorang mukmin tidak boleh membeli barang yang sedang dibeli oleh mukmin lainnya. Sedangkan dalam hal munakahat, seorang muslim dilarang meminang seseorang yang berada dalam pinangan saudaranya. Semua ini dilakuakan demi terjaminnya hak dan kewajiban orang-orang beriman sehingga persatuan dan kesatuan diantara mereka dapat terujud. Dalam hal meminang, seseorang laki-laki yang hendak meminang seorang perempuan diberi hak untuk melihat perempuan yang dimaksud dengan melihat telapak tangan dan wajahnya. 
Pernyataan فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيه (Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli atau menawar barang yang ada dalam penguasaan saudaranya) maksudnya adalah seorang mukmin diharamkan menjual barang kepada seseorang sedangkan si pembeli masih berada dalam waktu khiyar. Yakni, si pembeli boleh meneruskan atau membatalkan pembeliannya itu lalu seseorang yang lain datang kepada si pembeli dalam masa khiyar seraya berkata kepadanya ”batalkan saja jual beli itu, aku akan menjual kepadamu barang semacam itu dengan harga yang lebih murah. Selain itu, penggalan hadith tersebut maksudnya seorang mukmin dilarang menawar barang yang sedang ditawar oleh mukmin lainnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i. sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa membeli barang yang sedang dibeli atau menawar barang yang sedang ditawar hukumnya makruh.
Dalam hadith lain disebutkan dengan ”Laa Yabi’u... dan Laa Yakhthubu”. Kata ”Laa” yang berarti ”tidak” dalam hadith ini bukan meniadakan kenyataan tetapi menunjukkan larangan dengan arti janganlah. Hal ini sejalan dengan hadith riwayat Bukhari dari Ibn Umar sebagai berikut:
”Nahaa al-nabiyyu Saw an Yabii’a al-rajulu ’alaa Bay’i Akhiihi wa an Yakhthuba al-rajulu ’alaa khithbati Akhiihi hatta Yatruka al-Khaatibu Qablahu aw an Ya’dzana Lahu” (Rasulullah Saw melarang seorang laki-laki menjual atas jualan saudaranya dan (melarang) seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya sehingga ditinggalkan oleh peminang sebelumnya atau diijinkan baginya).
Jual beli semacam ini dilarang karena akan menimbulkan rasa permusuhan dan rasa benci antara penjual pertama dengan penjual kedua.  Bahaya jual beli semacam ini terkadang tidak terbatas di situ saja bahkan dapat menimbulkan tindakan-tindakan buruk yang lebih jauh. Karena, keuntungan materi yang sedikit tidaklah layak bagi seorang muslim melakukan sesuatu yang menimbulkan kemurkaan Allah dan Rasul-Nya serta menanam rasa benci di dalam hati. Berdasarkan kaidah ‘sesungguhnya larangan terhadap sesuatu menghendaki fasadnya” maka menjual atas jualan orang lain itu hukumnya fasid atau batal. Demikian pendapat ulama madzhab Maliki dan Hanbali. Menurut jumhur ulama, jual beli itu sah meskipun penjual kedua berdosa karena perbuatan itu. Karena larangan di sini bukan karena dzatnya akan tetapi karena hal yang mendatang dari luar.
          Pernyataan Nabi Saw yang menyatakan وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ 
(dan janganlah seorang mukmin meminang atas pinangan saudaranya) menunjukkan bahwa seorang muslim dilarang meminang pinangan muslim lainnya, selama pihak peminang pertama tidak membatalkan pinangannya  atau pihak perempuan dengan jelas menolak pinangan  pertamanya itu. Adapun bentuk meminang atas pinangan orang lain ialah seorang laki-laki meminta seorang perempuan atau walinya untuk kawin dengannya atau meminta walinya agar dapat mengawini anak perempuan yang berada dalam perwaliannya lalu dia atau walinya menerima permintaan itu. Kemudian seorang laki-laki lain datang meminang perempuan itu untuk menjadi isterinya padahal dia mengetahui pinangan laki-laki yang pertama.
Apabila pinangan yang pertama telah diterima dengan tegas maka para ulama telah ijma’ bahwa pinangan yang kedua hukumnya haram. Apabila penerimaan teradap pinangan yang pertama tidak tegas tetapi dalam bentuk sindiran, misalnya : ”wanita mana kiranya yang tidak mengharapkan laki-laki seperti kamu”, begitu pula apabila tidak terjadi penerimaan atau penolakan maka menurut pendapat yang lebih kuat pinangan yang kedua itu tidak haram. Imam Syafi’i menegaskan bahwa diamnya si gadis karena setuju kepada laki-laki yang datang meminang merupakan penerimaan.
Dalam hal meminang, bolehlah meminang itu dilakuakn dengan sindiran maupun terang-terangan. Meminang perempuan yang tidak bersuami dan tidak dalam keadaan iddah, boleh dilakukan dengan terang-terangan atau sindiran. Apabila seorang perempuan masih dalam keadaan iddah, baik karena kematian suaminya atau karena talaq (baik talaq raj’iy maupun bain)maka hukumnya haram. Apabila iddahnya bersifat raj’iyyah (boleh ruju’) maka ia haram dipinang meskipun dengan sindiran karena suami masih berhak merujuknya kapanpun ia menghendaki.  Apabila iddahnya karena  talaq bain maka perempuan itu haram dipinang secara terang-terangan karena suami masih berhak merujuknya dengan akad baru. Sedangkan peminangan secara sindiran terhadap perempuan dalam keadaan iddah talak bain diperselisihkan para ulama. Namun pendapat yang sahih adalah menyatakan boleh.
Perempuan yang sedang beriddah karena kematian suaminya diperbolehkan untuk dipinang dengan sindiran bukan dengan terang-terangan. Alasannya karena hubungan suami isteri telah terputus dengan kematian. Akibatnya, suami tidak memiliki hak terhadap isteri yang telah ditinggal mati. Meskipun demikian, perempuan dalam keadaan seperti ini haram dipinang dengan terang-terangan dalam rangka menjaga kesedihan isteri dan ihdadnya dari pihak lain. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menenggang perasaan keluarga si mayit dan ahli warisnya dari pihak lain.[4] Apabila ia dalam keadaan bersuami, maka tidak boleh baik dengan sindiran ataupun terang-terangan.
Akad nikah sebagai kelanjutan dari pinangan yang haram, menurut Dawud al-Dhahiri dan pengikut-pengikutnya, dibatalkan baik sebelum melakukan hubungan badan maupun sesudahnya. Menurut jumhur ulama, akad nikah itu tetap sah dan tida dibatalkan karena larangan tersebut terhadap pinangan sedangkan pinangan bukanlah syarat sahnya akad nikah. Karena itu, akad nikahnya tidak dibatalkan karena pinangan telah terjadi secara tidak sah.
         Perkataan akhiihi” (saudaranya) dalam hadith ini menurut satu pendapat dimaksudkan sebagai “saudara seagama”. Karena itu yang haram adalah pinangan atas pinangan seorang muslim tidak atas pinangan orang kafir. Tetapi menurut jumhur ulama bahwa hukum haram di sini bersifat umum. Artinya pinangan atas pinangan itu haram hukumnya baik atas pinangan orang muslim maupun atas pinangan orang kafir. Apabila peminang pertama itu fasik maka apakah boleh orang baik-baik meminang atas pinangannya?. Amir Husein berpendapat dalam kita asy-Syifa “boleh meminang atas pinangan orang fasik”. Demikian diriwayatkan dari Ibn al-Qasim, sahabat imam Malik dan dikuatkan oleh Ibn al-‘Araby. Hal ini dapat dimengerti apabila yang dipinang itu wanita yang baik-baik maka orang fasik tidak sekufu’ dengan dia, karena itu pinangannya dianggap seperti tidak ada. Sedangkan jumhur tidak memperhatikan hal itu apabila si perempuan telah menerima pinangannya.
           Pernyataan “Illa an Ya’dzana lahu” (kecuali dia mengijinkan baginya) menunjukkan bahwa peminang kedua boleh meminang perempuan itu setelah mendapat ijin dari peminang pertama. Begitu pula bagi orang lain karena ijin itu menunjukkan peminang pertama telah meninggalkannya. Karena itu, siapa saja yang hendak mengawininya boleh meminangnya.
                Pernyataan Nabi Saw فإنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ  
     (Bila salah seorang di antaramu meminang seorang perempuan, apabila ia   
     mampu melihatnya yang mendorong untuk menikahinya, maka lakukanlah)
     mengandung pengertian bahwa laki-laki yang meminang perempuan boleh
     melihat perempuan pinangannya itu untuk melihat kecantikannya agar lebih
     merangsangnya untuk menikah. Atau untuk melihat cacatnya yang akan
     memberikan kesempatan untuk mencari pilihan lain. Dengan melihat wanita yang dipinang, maka peminang dapat mengetahui identitas maupun kepribadian perempuan yang akan dinikahi. Melihat perempuan yng dipinang itu hukumnya sunah.          
F. Tinjauan Rawi Hadith
    1. Abu Thahir          
Nama lengkap Abu Thahir adalah Ahmad ibn Amr ibn Abdullah ibn Amr ibn al-Syarh al-Qurasyiyyi al-Umawy. Ia berkebangsaan Mesir, budak Utbah ibn Abi Sufyan. Ia terkategori sebagai tokoh yang menerima hadis dari pengikut para tabi’in. Ia meninggal dunia pada tahun 250H. Hadisnya diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, al-Nasai dan Ibn Majah. Menurut Ibn hajar ia tergolong tsiqah (terpercaya) tetapi menurut al-Dzahaby, rutbahnya tidak disebutkan.
2. Abdullah ibn Wahb
Nama lengkapnya adalah Abidullah ibn Wahb ibn Zum’ah ibn al-Aswad ibn al-Muthalib ibn Asad al-Qurasyiyyi al-Asady al-Zum’iyyi. Ia menempati peringkat ke-3 dari tabi’in menengah. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Menurut Ibn Hajar dan al-Dzahaby, kedudukannya bernilai tsiqah. Ia wafat pada tahun 250H.
3. Al-Laits
Nama lengkapnya adalah al-laits ibn Abi Sulaim ibn Zanim al-Qurasyiyyi. Ia diberi nama kuniyah Abu Bakar atau Abu Bakir al-Kufy. Ia menempati posisi ke-6 dari orang-orang yang semasa dengan tabiin kecil. Ia wafat pada tahun 148H. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-nasa’i dan Ibn Majah. Kredibiltasnya dinilai oleh al-Dzahaby sebagai perawi yang sedikit lemah karena hafalannya buruk. Akan tetapi sebagaian ulama menjadikan hadisnya sebagai hujjah.
4. Yazid ibn Abi Hubaib
Ia menempati peringkat ke-5 dari tabiin kecil yang meninggal pada tahun 128 H. Hadis-adisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah. Kredibilitasnya dinilai oleh Ibn hajar sebagai tsiqah, faqih dan mursal. Sedangkan al-Dzahaby menilainya sebagai seorang warga mEsir yang ‘Alim, dan sebagai cendekia, ahli hikmah dan orang yang bertaqwa yang terpercaya.
5. Abdurrahman ibn Syimamah
Nama lengkapnya adalah Abdurrahamn ibn Syimamah ibn Dzuaib al-Mahry, Abu ‘Amr. Ada juga yang menyebut Abu Abdillah al-Mishri. Sebagian lain menyatakan bahwa ia berasal dari Damaskus. Ia menempati peringkat ke-3 dari kalangan tabiin menengah. Ia wafat pada tahun 101H atau sesudahnya.Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-nasa’i dan Ibn Majah. Kerdibilitasnya dinilai oleh Ibn Hajar sebagai tsiqah, demikian juga menuru8t al-Dzahaby. 
6. ‘Uqbah ibn ‘Amir
Nama lengkapnya adalah ‘Uqbah ibn “Amir al-Juhany Abu Hammad. Nama kuniyahnya terdapat perbedaan pendapat yaitu Abu Su’ad, Abu ‘Amir, Abu ‘Amr, Abu Abas, Abu Asad dan ada juga menyebutnya Abu al-Aswad. Ia menempati peringkat ke-1 sahabat yang wafat mendekati tahun 60 H di Mesir. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasai dan Ibn Majah. Kredibilitasnya dinilai oleh Ibn Hajar dan al-Dzahaby sebagai Shaahaby.
7. Musaddad
Nama lengkapnya adalah Musaddad ibnMusarhad ibn Musarbal ibn Masturid, Abu al-Hasan al-bashri. Ada yang menyebutkan bahwa nama dia adalah Abd al-Malik ibn Abd al-‘Aziz. Sedangkan Musaddad adalah nama gelar. Ia menempati peringkat ke-10 pra pembesar yang mengikuti tubba’ al-Atba’. Ia wafat pada tahun 228H. Hadis-hadisnya diriwayatkn oleh al-Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i. Kredibilitasnya dinilai Ibn hajar sebagai Tsiqah Hafidh. Sedangkan menurut al-Dzahaby, ia adalah seorang hafidh.
8. Abd. Al-Wahid ibn Ziyad
Nama lengkapnya adalaah Abd al-Wahid ibn Aiyad al-‘Abdy Abu Basyar. Sebagian pendapat, kuniyahnya adalah Abu Ubaid al-Bashri. Ia menempati peringkaat ke-8 dari kalangan menengah atba’ al-Tabi’in yang afat pada 176H atau sesudahnya. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Menurut Ibn Hajar, ia adalah seorang yang tsiqah, meskipun dalam hadis yang diriwayatkan dari al-A’masy sendiri ada pembicaraan. Sedangna menurut al-Dzahaby, Laysa Bihi Ba’tsun.
9. Muhammad
         Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ishaqibn Ja,far. Ada yang menyebutnya ibn Muhammad, Abu Bakar al-Shaghany. Ia berada di peringkat ke-11 dari kalangan orang-orang yang mengikuti Tubba’ al-Tabi’in. Ia wafat pada 270H. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Kredibilitasnya dinilai ibn Hajar sebagai Tsiqah Tsabat.  Sedangkan menurut al-Dzahaby, ia adalah seorang al-Hafidh. Sementara Ibn Kharasy menilainya sebagai Tsiqah Ma’mun.
10. Dawud
Nama lengkapnya adalah Dawud ibn al-Hushein al-Qurasyiyyi al-Umawy. Nama kuniyahnya adalah Abu Sulaiman yang berkebangsaan Madinah sebagai sebagai majikan Amr ibn Utsman ibn Affan. Ia menempati posisi peringkat ke-6 dari kalngan orang yang semasa dengan tabi’in kecil. Ia wafat pada tahun 135H. Hadis-hadisnya diriayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’I dan Ibn Majah. Menurut penilaian Ibn hajar, ia adalah seorang tsiqah kecuali menurut Ikrimah. Ia dituduh menggunakan pendapat al-Khawarij. Menurut al-Dzahaby, ia dinilai tsiqah oleh Ibn Ma’in dan lain-lain. Menurut Ali, apa yang diriwayatkan oleh Ikrimah adalah munkar. Abu Hatim berpendapat, jika Malik tidak meriwayatkan hadis daripadanya tentu hadisnya ditinggalkan.

11. Jabir
Nama lengkapnya adalah Jabir ibn Abdullah ibn ‘Amr ibn Haram al-Anshari dari suku Khazraj. Nama kuniyahnya adalah Abu Abdillah atau Abu Abdirrahamn atau Abu Muhammad al-Madany. Ia adalah seorang sahabat yang wafat pada tahun 70 setelah Hijrah di Madinah. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’I, Ibn Majah. Menurut Ibn Hajar dan al-Dzahabi, ia adalah seorang sahabat.
--
Nasai 3182
الاسم : عبد الرحمن بن إبراهيم بن عمرو القرشى العثمانى مولاهم الدمشقى ، أبو سعيد لقبه دحيم ، ابن اليتيم ( قاضى الأردن و فلسطين )
المولد :  170 هـ
الطبقة :  10 : كبارالآخذين عن تبع الأتباع
الوفاة :  245 هـ بـ فلسطين
روى له :  خ د س ق  ( البخاري - أبو داود - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة حافظ متقن
رتبته عند الذهبي :  الحافظ ، قال أبو داود : حجة ، لم يكن فى زمنه مثله
الاسم : مروان أبو لبابة البصرى الوراق العقيلى مولاهم مولى عبد الرحمن بن زياد العقيلى و قيل مولى عائشة و قيل مولى هند بنت المهلب
الطبقة :  4  : طبقة تلى الوسطى من التابعين
روى له :  ت  ( الترمذي )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة
رتبته عند الذهبي :  ثقة
الاسم : يزيد بن كيسان ، أبو حفص الخلقانى
الطبقة :  6  : من الذين عاصروا صغارالتابعين
روى له :  تمييز  ( لم يخرج له أحد من الستة )
رتبته عند ابن حجر :  مقبول
رتبته عند الذهبي :  . . . .
الاسم : أبو حازم الأنصارى البياضى مولاهم
الطبقة :  1 : صحابى
روى له :  مد  ( أبو داود في المراسيل )
رتبته عند ابن حجر :  صحابى ، و قيل : لا صحبة له
رتبته عند الذهبي :  .
الاسم : أبو هريرة الدوسى اليمانى ( حافظ الصحابة ، اختلف فى اسمه و اسم أبيه اختلافا كثيرا )
الطبقة :  1 : صحابى
الوفاة :  57 هـ ( 58 أو 59 هـ قيل ذلك )
روى له :  خ م د ت س ق  ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  صحابى
رتبته عند الذهبي :  صحابى ، كان حافظا متثبتا ذكيا مفتيا ، صاحب صيام و قي
               
    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berstatus shahih,  karena semua rawinya siqah (kuat). Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan dari An-Nasai juga berstatus shahih.
G. Kandungan Hadist
1. Menjual atas jualan orang lain hukumnya haram karena menimbulkan rasa
    permusuhan dan kebencian antara sesama muslim bahkan mungkin
    menimbulkan akibat-akibat yang lebih jauh daripada itu.
2. Meminang atas pinangan orang lain, baik muslim, fasik maupun kafir,
    menurut jumhur hukumnya haram. Menurut sebagian ulama, yang haram
    hanya pinangan atas pinangan orang muslim. Menurut sebagiannya lagi,
    hanya atas pinangan orang muslim yang tidak fasik.
3. Ulama telah ijma’ bahwa hukum haram itu apabila pinangan yang pertama   
    telah diterima dengan tegas. Apabila penerimaan itu berbentuk sindiran
    atau tidak terjadi penerimaan dan penolakan maka menurut pendapat yang
    kuat pinangan yang kedua itu tidak haram.
4. Apabila peminang pertama telah mengijinkan kepada seseorang untuk
    meminang perempuan yang telah dipinangnya maka hukum pinangan kedua
    baik dari orang yang diijinkan itu maupun orang lain adalah mubah
    (boleh).
5. Akad nikah sebagai lanjutan dari pinangan yang haram, menurur jumhur
    hukumnya sah. Sedangkan menurut Dawud al-Dhahiri dan pengikutnya,
    akad nikah itu dibatalkan baik mereka sudah berhubungan badan maupun
    belum.









[1] Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al’Arabiyah, t.th), 592.
[2] Al-San’any, Subul al-Salam, Juz 3, Mjld 2, (Kairo: Dar Ihya al-Turats al-Islamy, 1379H/1960M), 112-113.
[3] QS. Al-Hujurat (49):10. Dalam hal ini al-Qur’an menggunakan kata ikhwah dalam arti saudara seketurunan ketika berbicara tentang persaudaraan sesma muslim. Dengan kata lain, mengapa al-Qur’an tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata ini digunakan untuk mkna persaudaraan tidak seketurunan?.Bukankah lebih tepat menggunakan kata ikhwan jika melihat kenyataan bahwa saudara-saudara seiman terdiri dari banyak bangsa dan suku yang tentunya tidak seketurunan?. Menurut Quraish Shihab, hal ini bertujuan untuk mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antar sesma muslim, seakan-akan hubungan tersebut bukn saja dijalin oleh keimanan (yang didalam ayat ini ditunjukkan oleh kata al-mu’minun), melainkan juga ‘seakan-akan’ dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan keajiban ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis di antara mereka dan tidak satu pun yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan hubungan. Lihat Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudlu’i atas pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), 490-491.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, jilid 2, (Beirut: Dar al-FikrLi al-Thiba’ah wa ala-Nasyr wa al-Tauzi’, 1419H/1998M), 17.

No comments:

Post a Comment