Saturday, July 7, 2012

HUKUM PIDANA ISAM



BAB I
PENDAHULUAN
        A.        Latar Belakang Masalah
Islam rahmatan lil alamin, mengedepankan keharmonisan dan kenyamanan bagi pemeluknya. Pemeluk islam sudah mendunia dengan memiliki keragaman budaya, beragam individu dan dan beragam aturan. Dalam setiap pemikiran individu masing-masing sangat berbeda dan sering menimbulkan berbagai konflik. Mulai dari perbedaan pendapat, saling menghina, saling berebut kekuasaan, yang bahkan bisa berbentuk tindak pidana (jinayah). Kemudian dalam islam dikenal istilah pembuktian dalam proses jinayah. Pembuktian merupakan sebuah langkah untuk mencapai dan mendapatkan keadilan. Sehingga dengan adanya pembuktian ini suatu tindak pidana bisa menjadi jelas dan tidak merugikan sebelah pihak. Dan pembuktian ini akan menjadi pertimbangan bagi hakim yang hendak memutuskan suatu perkara. Maka sekiranya perlu dipahami apa itu pembuktian, tujuan bebannya dan macam-macam pembuktian.
         B.        Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pembuktian secara etimologi dan terminologi?
2.      Apa tujuan pembuktian?
3.      Siapa yang dikenai beban pembuktian?
4.      Apa saja macam-macam alat bukti?
        C.        Tujuan Penulisan
1.      Memahami pengertian pembuktian
2.      Mengerti tujuan pembuktian
3.      Mengetahui beban pembuktian
4.      Mengerti macam-macam alat yang digunakan sebagai pembuktian


BAB II
PEMBAHASAN
                      A.        Pengertian Pembuktian
Pembuktian secara etimologi berasal dari kata “ bukti ”, yang berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata “ bukti ” jika mendapat awalan “pe-”, dan akhiran “an-”, maka mengandung arti proses, perbuatan, atau cara membuktikan. Membuktikan mempunyai beberapa arti, yaitu arti logis, konversional, dan yuridis. Ketiga arti tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1.      Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Contoh: berdasarkan aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang.
2.      Membuktikan dalam arti konversional adalah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif dengan tingkatan sebagai berikut:
a.       Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan, maka kepastian itu bersifat intuitif.
b.      Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal.
3. Membuktikan dalam arti yuridis adalah memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim dalam memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang di ajukan.[1]
Adapun secara terminologi, “ pembuktian ” berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.[2] Secara sederhana, pembuktian yaitu sebagai tindakan memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.[3]
                       B.        Tujuan Pembuktian
Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang memutuskan suatu perkara. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa satu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, sehingga mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat memutuskan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa atau fakta yang di ajukan itu benar-benar terjadi, yaitu dibuktikan kebenarannya.
Tujuan pembuktian menurut hukum islam tidak beda dengan tujuan pembuktian diatas. Memperoleh kejelasan dan kepastian suatu peristiwa.[4]
                       C.        Pembebanan Pembuktian
Beban dalam pembuktian sebuah kebenaran dakwaan terletak pada pengugat karena penggugat memberikan tuduhan yang masih samar, oleh karena itu penggugat harus memberikan pembuktian untuk menjelaskannya.[5] Hal  ini sesuai  dengan penjelasan Rasulullah tentang hal ini:
اَلبَيِّنَةُ عَلَى المُدَّعِى[6]
Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa
Pembuktian wajib dilakukan oleh penggugat, karena pembuktian adalah bukti yang paling kuat yang membawa manfaat bagi penggugat.[7] Penggugat dapat melakukan pembuktian dengan menghadirkan saksi, namun pembuktian ini mengandung resiko jika tidak berhasil atau pembuktian yang dilakukan penggugat tidak sesuai dengan kenyataan maka penggugat akan dikalahkan oleh tergugat dengan melakukan sumpah.
Sumpah adalah pembuktian dari tergugat, sesuai dengan hadis nabi :
وَالْيَمِيْنُ عَلَى المُدَّعِى عَلَيْهِ
Dan sumpah wajib bagi orang yang terdakwa
Apabila tergugat bersumpah maka hakim harus memutuskan dengan pasal gugatan dan mengakhiri perkara antara salah satu gugatan dengan mendalami tuntutan penggugat.[8]
Sumpah tergugat adalah bukti yang lemah karena tergugat menempati tuduhan dan akan berakibat kerugian bagi tergugat apabilah sumpahnya adalah sumpah palsu, tapi jika sumpah itu benar maka bebaslah dari ancaman dan cukuplah dengan pembuktian yang lemah (sumpah).
                      D.        Macam-macam Alat Bukti
Alat bukti menurut Ibnul Qayim adalah setiap alasan yang dapat memperkuat dakwaan/gugatan.[9]
1.      Saksi
Kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral, yaitu kata-kata yang di ucapkan seseorang di persidangan. Pengertian persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafadz syahadat di depan pengadilan.[10]
Menurut Sayyid Sabiq saksi adalah memberitahukan seseorang tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya.[11] Jadi artinya saksi adalah orang yang benar-benar menyaksikan sendiri suatu perkara yang dapat dinilai bahwa kesaksian tersebut adalah suatu bukti.
Persaksian adalah alat pembuktian suatu jarimah yang sangat penting untuk mengungkap kebenaran. Allah telah menjelaskan tentang persaksian sebagai alat bukti dalam QS. Al-baqarah: 282.
(#rßÎhô±tFó$#ur ……. ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 ...
QS. An-nisa: 135
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà­ ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ïÆä3tƒ $ÏYxî ÷rr& #ZŽÉ)sù ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( Ÿxsù (#qãèÎ7­Fs? #uqolù;$# br& (#qä9Ï÷ès? 4 ...
Kesaksian hanya wajib dilakukan jika saksi mampu melakukannya, seperti yang telah dijelaskan dalam surah al-baqarah bahwa setiap saksi yang memberikan kesaksiannya di hadapan hakim hendaknya memperoleh jaminan keamanan baik jiwa, harta ataupun kehormatannya. Karena kesaksian merupakan kewajiban bagi orang yang mengetahui kebenaran dalam suatu perkara.[12]
Syarat-syarat saksi
1.      Islam
Saksi harus beragama islam, karena tidak bisa diterima kesaksian dari orang kafir, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis nabi:
لَاتَجُوْزُ شَهَادَةُ أَهْلِ دِيْنٍ عَلَى أَهْلِ دِيْنٍ اَخَرَإِلّا المُسْلِمِيْنَ فَاِنَّهُمْ عَدُوْلٌ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَى غَيْرِهِمْ
Hadis di atas menjelaskan bahwa tidak diterimanya persaksian dari orang-orang kafir.[13] Menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-fiqh Al-islami wa Adillatuhu persaksian boleh dilakukan oleh ahli kitab.[14]
2.      Adil
Para ulama bersepakat bahwa adil adalah syarat  dari saksi sesuai firman Allah QS. At-thalaq: 2
 (#rßÍkô­r&ur ôursŒ 5Aôtã óOä3ZÏiB
Ayat ni menjelaskan bahwa persaksian hanya boleh dilakukan oleh orang yang adil dan tidak diterima persaksian orang-orang fasik seperti pezina, peminum, pencuri dan lain sebagainya.[15]
3.      Baligh dan berakal
Saksi harus orang yang baligh dan berakal, maka tidak diterima persaksian orang yang belum baligh atau berakal seperti persaksian dari anak kecil ataupun orang gila.
4.      Merdeka 
Ulama Hanafiyah, malikiyah dan syafi’iyah bersepakat bahwa persaksian dari budak itu tidak diterima. Namun menurut ulama Hanafiyah Dzahiriyah persaksisan budak itu diterima karena perbudakan bukan merukan alasan penolakan.[16]
Syarat-syarat diatas adalah syarat-syarat yang telah di sepakati jumhur ulama sedangkan menurut Sayyid Sabiq syarat tersebut perlu ditambah dengan saksi bisa berbicara dan bukan bagian dari keluarga. Wahbah Zuhaili juga menjelaskan dalam kitabnya bahwa tidak diterima persaksian dari saksi yang memiliki hubungan keluarga dari pihak yang menghadirkan saksi.
2.      Sumpah
Sumpah atau yamin, fuqaha sepakat bahwa ia dapat menggugurkan gugatan terhadap pihak tergugat apabila penggugat tidak mempunyai saksi.[17] Fuqaha mendefinisikan sumpah sebagai suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan dengan nama Allah bahwa ucapannya itu benar.
Sumpah yang digunakan di pengadilan adalah sumpah atas perbuatan yang telah lalu, bukan perbuatan yang akan datang.[18] Disunatkan bagi hakim untuk membebankan sumpah pada orang yang mendakwa jika tidak mendatangkan saksi.[19]
Adapun dasar sumpah sebagai salah satu alat bukti yaitu firman Allah :
Ÿw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsム$yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷ƒF{$# ( ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3ŠÎ=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ㍃̍øtrB 7pt6s%u ( `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷ƒr& #sŒÎ) óOçFøÿn=ym 4 (#þqÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrãä3ô±n@ ÇÑÒÈ
Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (al-Maidah : 89)

3.      Pengakuan
Menurut bahasa iqrar (pengakuan) yaitu ithsbat atau penetapan.[20] Adapun pengakuan menurut syara’ adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut.[21] Menurut istilah fuqaha, pengakuan adalah mengabarkan suatu hak bagi orang lain. Pengakuan adalah pemberitahuan terhadap suatu hak.[22] Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak melakukan persetujuan dari pihak yang lain.[23] seorang yang memberi kabar tentang dirinya sendiri maka disebut pengaku, namun jika memberi kabar mengenai orang lain disebut pendakwa.[24]
Jadi, pengakuan adalah memberitahukan adanya tindakan atau perbuatan pelaku yang berakibat melanggar aturan hukum dalam hukum islam.[25] Pengakuan adalah dasar yang paling kuat, akan tetapi merupakan alat bukti yang terbatas, karena hanya berlaku bagi yang memberi pengakuan saja (tergugat atau tertuduh), tidak dapat mengenai orang lain. Alasan lain adalah bahwa seorang yang berakal sehat tidak akan melakukan kebohongan yang merugikan dirinya. Karena itu pengakuan lebih kuat daripada persaksian.[26] Adapun syarat-syarat pengakuan itu dapat diterima yaitu jelas, terperinci, pasti, orang yang berakal, tidak dipaksa, bukan orang dibawah pengampuan, dan tidak tidur (terjaga).
Adapun dasar pengakuan sebagai salah satu alat bukti yaitu Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah: 84:
øŒÎ)ur $tRõs{r& öNä3s)»sWÏB Ÿw tbqä3Ïÿó¡n@ öNä.uä!$tBÏŠ Ÿwur tbqã_̍øƒéB Nä3|¡àÿRr& `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ §NèO ÷Länötø%r& óOçFRr&ur tbrßuhô±n@ ÇÑÍÈ 
Artinya: Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu) kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.
Macam-macam pengakuan ditinjau dari segi pelaksanaannya, dibedakan menjadi 3, yaitu:
a)      Pengakuan dengan kata-kata (secara lisan), pengakuan harus diucapkan di muka sidang pengadilan.
b)      Ikrar dengan isyarat, apabila seseorang itu tidak bisa bicara (bisu), dengan ketentuan isyarat itu dapat dipahami oleh umum.
c)      Ikrar dengan tulisan, semula tidak dibenarkan. Akan tetapi, mengingat saat ini terdapat berbagai cara untuk mengetahui mana tulisan yang asli atau palsu, serta mengingat para muhaditsin meriwayatkan hadis dengan cara tulisan pun dapat diterima dan dibenarkan secara sepakat (ijma’), maka dapat dikatakan pengakuan dengan tulisan dapat dibenarkan. Namun, lebih baik dan lebih disepakati oleh para ulama adalah hendaknya pengakuan dilakukan dengan cara lisan, langsung didepan sidang pengadilan.[27]
4.      Bukti tertulis yang sah
Bukti tertulis dapat ditetapkan sebagai alat bukti berdasarkan dalil dalam Firman Allah:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# çm­/u ...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.. (Al-Baqarah: 282)
Dan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam hadis sahih, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيْدٌ اَنْ يُوْصَى فِيْهِ يُبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ اِلَّا وَصِيَّتَهُ وَمَكْتُوْبَةً عِنْدَهُ
Artinya: “tidak ada hak bagi seorang muslim mewasiatkan sesuatu miliknya ketika dia terbaring dua malam, kecuali hendaknya dia menulis wasiatnya itu disisinya.” (HR. Muslim)
Masa sekarang ini, bukti tertulis adalah bukti autentik yang dianggap sangat penting untuk membuktikan kebenaran dakwaan. Pada masa lalu, bukti tertulis masih sangat jarang digunakan, karena orang yang pandai menulis masih sedikit, sehingga tidak begitu populer.








BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pembuktian secara bahasa berasal dari bukti yang berarti menunjukkan peristiwa yang benar-benar terjadi, sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa pengertian, dilihat dari logis, konvensional dan yuridis.
Tujuan adanya pembuktian yakni menjadi pertimbangan bagi hakim untuk mengambil keputusan yang adil.
Pembebanan pembuktian diberatkan kepada orang yang menggugat.
Macam-macam alat bukti dalam islam ada saksi, sumpah, pengakuan, bukti tertulis yang sah.





DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruq, Asadulloh. 2009. Hukum Acara Peradilan Islam. Yogyakarta: Pustaka Yustisia
Audah, Abdul Qadir. 1968. Tasyri’ul Jinayyil Islamy Juz 2. Kairo: Darul ‘Urubah
Banhawi, Ahmad Ibrahim. 2005. Jawaahir al naqiyyah. Libanon: Darul Minhaj
Madkur, Muhammad Salam. Peradilan dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu
Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberti
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Rusyd,Ibnu. 2005. Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtasid juz 1. Bairut:
Sabiq, Sayyid. 1995. Fiqh Al-sunnah juz 3. Kairo: Darul Fath
Taimiyah, Ibnu. 1995. al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah. Bairut:Darul kutub Alamiyah
Zuhaili, Wahbah. 2008. Al-fiqh Al-islami wa Adillatuhu Juz 6. Damaskus: Darul Fikr
Al-Marshofi, Muhammad. 1995. Hasyiyah al-Buhairami ‘ala Syarhi Minhaju al-Thullab. Darul Fikr:Bairut


[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberti, 1998), hal 32-33
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[3] Asadulloh al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal 31
[4] Asadulloh al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, hal 33
[5] Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-islami wa adillatuhu Juz 6. (Damaskus: Darul Fikr, 2008) hal. 437
[6] Imam Taqiyyudin Abu Bakar, kifayatul akhyar  (Surabaya: Darul Ilm) hal. 220
[7] Ibid hal. 220
[8] Wahbah Zuhaili, Zuhaili, Al-fiqh Al-islami wa adillatuhu Juz 6. (Damaskus: Darul Fikr, 2008) ha.l 439
[9] Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu), hal 107
[10]Ibid hal. 388
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh Al-sunnah Juz 3(Dar Al-fath: 1995) hal. 287
[12] Ibid.
[13] Abi Ishaq Ibrahim, Al-muhadzab Juz 3 (Mesir: Al-maktabah Al-taufiqiyah) hal. 437
[14] Wahbah Zuhaili, Zuhaili, Al-fiqh Al-islami wa adillatuhu Juz 6 (Damaskus: Darul Fikr, 2008) hal. 482
[15] ibid
[16] ibid
[17] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtasid juz 1, (Bairut: ,2005), hal 382
[18]Asadulloh al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, hal 64
[19] Muhammad al-Marshofi, Hasyiyah al-Buhairami ‘ala Syarhi Minhaju al-Thullab,(Darul Fikr:Bairut.1995).hal.402
[20] Ahmad Ibrahim Banhawi, Jawaahir al naqiyyah, (Libanon: Darul Minhaj, 2005), hal 282
[21] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal 228
[22] Abdul Qadir Audah, Tasyri’ul Jinayyil Islamy Juz 2, (Kairo: Darul ‘Urubah), hal 303
[23] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hal 181
[24] Ibnu taimiyah, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, (Bairut:Darul kutub Alamiyah,1995).299-300.
[25]Asadulloh al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, hal 39
[26]Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal 229
[27] Asadulloh al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, hal 42